Minggu, 30 April 2017

Konflik Agama di Ambon Tahun 1999

Konflik Agama di Ambon Tahun 1999

Konflik antara Agama Islam dan Kristen di Ambon Maluku (1999)

Abstrak

Pada bulan tahun 1999 sampai dengan tahun 2000, Ambon (Maluku) terlibat dalam konflik yang berdasarkan atas identitas agama yaitu Islam dengan Kristen. Bukan hanya sebagai konflik antar agama yang menimbulkan konflik ini tetapi ada faktor lain yaitu adanya kesenjangan ekonomi dan sosial yang menjadi penyebab konflik. Konflik yang terjadi antara warga Muslim baik pribumi maupun pendatang, yang perekonomiannya dianggap relatif baik karena pekerjaannya sebagai pedagang dan lebih banyak berperan dalam pemerintahan menyebabkan kelompok Kristen merasa termarjinalisasi oleh keadaan tersebut. Konflik ini terbagi menjadi empat babak yang latar belakangnya berbeda. Dijelaskan bahwa isu SARA yang dilakukan oleh orang-orang yang berkepentingan merupakan ikut menjadi pemicu terjadinya konflik agama tersebut.
Kata Kunci: Konflik antar agama, kesenjangan ekonomi dan sosial, termarjinalisasi, konflik horizontal, dominasi kelas.

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki masyarakat yang majemuk yang terdapat beragam suku, etnik, adat, ras, agama dan bahasa yang berbeda-beda. Di Indonesia terdapat 300 lebih suku bangsa dan memiliki lebih dari 200 bahasa khas yang membedakan suku bangsa yang satu dengan yang lainnya. Di Indonesia juga terdapat beragam agama yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan lain-lain. Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh sekitar 85,2 % penduduk Indonesia, agama Protestan 8,9%, Katholik 3%, Hindu 1,8%, Budha 0,8%, dan lain-lain 0,3%.
Oleh karena itu masyarakat Indonesia disebut sebagain masyarakat yang majemuk. Tetapi dalam menjaga persatuan dan kesatuan, Indonesia memiliki semboyan yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Kondisi yang majemuk dengan beragamnya suku bangsa, etnik, adat, ras, agama, dan bahasa dapat menjadikan masyarakat Indonesia rentan akan terjadinya konflik.
Rentannya konflik merupakan sebab dari pertentangan kebudayaan antar masyarakat yang berbeda. Karena setiap etnik atau agama memiliki kebudayaan masing-masing yaitu cara pandang, tujuan, prinsip, dan kepercayaan yang berbeda. Konflik dapat terjadi pada antar kelompok yang berbeda maupun antar individu yang saling berinteraksi, dari adanya interaksi tersebut maka akan menimbulkan persepsi terhadap kelompok-kelompok tertentu yang terkadang positif dan kadang negatif.
Apabila dalam interaksi tersebut terdapat kesamaan tujuan, maka terjadilah kerjasama, dan apabila salah satu individu atau kelompok ingin melebihi individu atau kelompok yang lainnya maka terjadilah persaingan atau kompetisi. Dan apabila dua individu atau dua kelompok mempunyai kepentingan yang berbeda atau bertentangan satu dengan yang lain, maka dapat memicu terjadinya konflik. Oleh karenanya sulit bagi masyarakat Indonesia untuk menghindari konflik antar etnik, agama, suku, atau adat. Namun dalam kenyataannya, dalam catatan sejarah kemanusiaan khususnya yang berkaitan dengan hubungan antar umat beragama, kita menemukan banyak fakta yang memilukan tentang konflik dan pembantaian karena faktor etnik dan agama.
Salah satu konflik yang terjadi di Indonesia adalah konflik Ambon (Maluku) pada September 1999 yang merenggut hampir 5.000 nyawa melayang dan menyebabkan penderitaan berupa kemiskinan, menghancurkan sistem sosial pada masyarakat yaitu konflik yang terjadi karena berdasarkan atas identitas agama yaitu agama Islam dengan agama Kristen. Konflik Ambon 1999 ini adalah merupakan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah hubungan antar umat beragama di Indonesia. Dimana sebenarnya konflik tersebut berawal dari individu dengan individu bukan antar kelompok, yang kemudian meluas hingga menjadi konflik antar kelompok.
Semula konflik ini dipahami oleh kalangan masyarakat sebagai sebuah tragedi kemanusiaan yang disebabkan oleh suatu tindak atau peristiwa kriminal biasa. Pada kenyataannya konflik yang terjadi ini adalah sebuah rekayasa yang dirancang oleh orang atau kelompok tertentu demi kepentingannya dengan menggunakan isu SARA dan beberapa faktor lain seperti kesenjangan ekonomi, dan diskriminasi pemerintahan dan lain-lain.
Sebenarnya antara masyarakat baik beragama Islam maupun Kristen yang ada di Ambon ini sebenarnya mempunyai tradisi Pela Gandong yang gunanya untuk mempersatukan masyarakat atas dasar perbedaan yang ada baik agama, suku, maupun tujuan yang berbeda. Selain itu juga sebagai media penyelesaian konflik apabila terjadi konflik antar masyarakatnya. Namun, Pela Gandong ini sudah luntur seiring dengan berkembangnya zaman dan semakin banyaknya pendatang yang datang maka menyebabkan tradisi ini hilang. Akibatnya Pela Gandong sudah tidak dapat menjadi lembaga mekanisme penyelesaian konflik lagi. Sementara pada saat ini Pela Gandong telah digantikan dengan pendekatan keamanan (ABRI) dimana jika terjadi konflik maka akan dikenakan sanksi berat.

Latar Belakang Terjadinya Konflik

Konflik horizontal antar umat beragama Islam dengan umat beragama Kristen diawali dengan adanya kerusuhan pada tanggal 19 Januari 1999 bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Yang diawali dengan perkelahian pemuda keturunan Bugis yang beragama Islam dengan pemuda asal Mardika beragama Kristen. Pemuda asal Mardika yang bekerja sebagai supir angkot ini dimintai uang oleh pemuda keturunan Bugis tadi yang dikenal sebagai preman, kejadian ini terjadi di terminal Batu Merah. Karena pemuda asal Mardika tersebut tidak dapat memenuhi keinginan pemuda keturunan Bugis tadi. Kejadian ini terjadi berulang sampai tiga kali dan tetap pemuda asal Mardika ini tidak dapat memenuhi keinginan pemuda keturunan Bugis sehingga menimbulkan amarah dan perkelahian diantara mereka. Mereka adu pukul dan ingin membunuh satu sama lain.
Pemuda asal Mardika ini merasa terancam dan dia pulang kerumah mengambil parang dan kembali lagi ke terminal Batu Merah untuk menemui preman tersebut. Kemudian terjadilah aksi kejar-kejaran dimana preman tersebut berlari masuk ke kompleks pasar Desa Batu Merah. Kemudian preman tersebut ditahan oleh warga Batu Merah dan ia ditanyai tentang permasalahan yang terjadi, maka preman tersebut menjawab dengan jawaban bahwa “ia akan dibunuh oleh orang Kristen”. Jawabannya ini kemudian memicu terjadinya kerusuhan yang terjadi di Ambon yang dimana antara warga Muslim dengan warga Kristen saling menyerang. Warga Muslim menyerang warga Kristen dan sebaliknya warga Kristen yang muncul untuk mempertahankan diri.
Awalnya masa Muslim muncul dari Desa Batu Merah bangkit menyerang warga Kristen di kawasan Mardika yang merupakan tetangga Desa Batu Merah dengan menggunakan berbagai alat tajam seperti parang, tombak, panah dan lain-lain dengan menggunakan ikat kepala warna putih yang seragam. Mereka sempat melukai dan membakar rumah-rumah warga Kristen. Demikian pula pada saat yang bersamaan beberapa lokasi pemukiman Kristen seperti Galunggung, Tanah Rata, Kampung Ohiu, Silale, dan Waihaong serta mendengar bahwa gereja Silale telah dibakar maka bangkitlah amarahnya dan kemudian melalukan penyerangan balik ikut diserang oleh kelompok Muslim yang menyebabkan beberapa warga Kristen terbunuh, ratusan rumah dibakar dan sebuah gereja di kawasan Silale dirusak dan kemudian ikut dibakar.
Warga Kristen yang mendiami Batu Gantung, Kudamati dan sebagainya setelah mendengar penyerangan warga Muslim terhadap warga Kristen di Mardika, Galunggung, Tanah Rata, Kampung Ohiu, kawasan Silale, dan Waihaong Konflik berkembang dengan sangat pesat dengan sebab-sebab yang tidak sepenuhnya dimengerti oleh masyarakat setempat. Konflik tersebut meluas dan disertai dengan aksi-aksi pembakaran rumah-rumah warga dan tempat ibadah, pembunuhan serta penghancuran fasilitas-fasilitas umum. Konflik ini menjadi semakin meluas dan banyak terjadi kerusuhan dimana-mana hal ini disebabkan karena adanya isu SARA yang disebarkan oleh orang-orang yang berkepentingan.

Konflik ini terjadi dengan latar belakang yang berbeda yang mana terjadi dalam empat babak yaitu:
1. Januari-Maret 1999
Peristiwa sepele, dan dianggap biasa oleh masyarakat, yaitu konflik antara preman Batu Merah yang beragama Muslim dengan supir angkot yang beragama Kristen. Yang kemudian menyebabkan pertikaian antar kelompok agama dan suku bangsa yang kemudian meledak menjadi kerusuhan yang besar di Ambon. Akhirnya kerusuhanpun meluas keseluruh pulau Ambon tanpa dapat terkendali. Kota dan desa-desa di Ambon dibakar dan diratakan dengan tanah. Kerusuhan yang berlarut-larut itu memakan banyak korban jiwa.
Kota Ambon dan sebagian desa-desa sekitarnya tersegregasi ketat dan terbagi menjadi dua wilayah yaitu wilayah Islam dan Kristen. Masyarakat dan wilayah Kristen disebut dengan merah, dan yang Muslim disebut dengan putih. Pemerintah daerah, aparat keamanan, pemuka-pemuka agama dan adat kemudian sibuk melakukan rekonsiliasi dengan berbagai gebrakan. Upacara Panas Pela dilakukan disana-sini, sehingga pada akhir Maret sampai dengan pertengahan Juli 1999, Ambon mulai reda dari kerusuhan besar.

2. Juli-November 1999
Suasana Ambon dalam keadaan tenang-tenang tegang bersamaan dengan adanya kampanye menjelang pemilu. Setelah pemilu ketegangan pun meningkat dan pecah didaerah Poka dan kemudian meluas di bagian lain di ambon. Segregasi semakin ketat. Di Ambon hanya tersisa satu desa yang masyarakatnya masih tetap berbaur yaitu Wayame. Masyarakat semakin mempersenjatai diri dengan berbagai bentuk senjata, mulai dari parang.

3. Akhir Desember 1999-Pertengahan Januari 2000
Pada saat itu konflik mereda namun kesiap siagaan masih tinggi. Hal ini terjadi di Pulau Seram dan Pulau Buru. Tanda-tanda akan meledaknya kerusuhan menguat setelah adanya kunjungan dari presiden dan wakil presiden konflik kembali memanas dan terjadi lagi kerusuhan diberbagai wilayah. Akibatnya banyak korban jiwa yang berjatuhan.

4. April-Agustus 2000
Situasi di Ambon sudah kembali tenang sedangkan upaya rekonsiliasi dilakukan di berbagai tempat. Tapi gerakan Jihad yang berpusat di Yogyakarta, Jakarta, Bogor mulai meresahkan masyarakat Ambon. Isu-isu tentang ancaman Jihad mulai muncul dan pernolakan kedatangan Jihad muncul juga dari masyarakat Muslim, apalagi Kristen. Setelah wakil presiden berkunjung di Ambon dalam acara SBJ, yang juga dihadiri oleh kelompok Milisia Batumerah yang beragama muslim dengan Kudamati yang beragama kristen, meyebabkan kerusuhan mulai merebak dan menjadi berkepanjangan.
Ketidak mampuan pemerintah untuk menangani konflik menyebabkan kebangkitan Front Kebangkitan Maluku (FKM) pada 2000 yang merupakan sebuah gerakan yang mengangkat warisan Republik Rakyat Maluku (RMS). RMS kemudian dianggap sebagai gerakan Kristen yang memperburuk dinamika konflik antar Agama.

Analisis
Dalam analisis ini akan akan dibahas awal mula atau sumber terjadinya konflik antara warga yang beragama Islam dengan warga yang beragama Kristen. Dilihat secara mendalam sebenarnya konflik yang terjadi di Ambon bukanlah murni konflik yang disebabkan karena atas dasar agama, tetapi faktor ekonomi, sosial, dan politk juga menjadi penyebab konflik ini. Jika dilihat melalui sejarah dalam kehidupan di Ambon, yang dimana wilayah Ambon ini terbagi menjadi dua komunitas agama yaitu Islam dengan Kristen. Dimana kelompok identitas Kristen pada awalnya memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok identitas agama Islam karena segregasi yang diberikan oleh Belanda pada jaman penjajahan. Pemerintahan Belanda pada masa kolonial menganggap Kristen lebih unggul dibandingkan dengan Islam.
Konflik antara agama Islam dengan Kristen yang terjadi merupakan hasil pandangan setiap kelompok dalam kehidupannya bersama. Adanaya perbedaan yang ditunjukkan dengan kesenjanagan ekonomi membentuk interpretasi setiap kelompok dalam memberikan pandanagan nilai terhadap kelompok lain. Hal itu yang menimbulkan adanya prasangka negatif kelompok Kristen terhadap kelompok Islam dinAmbon pada jaman Orde Baru. Posisi kelompok islam lebih tinggi dengan kondisi ekonomi yang lebih baik karena berprofesi sebagai pedagang dan juga mendapatkan posisi pada pemerintahan yang menjadikan mereka melakukan dominasi terhadap kelompok agama Kristen.
Melalui interaksi yang terjadi kelompok Islam merasa termarjinal dalam struktur masyarakat Ambon sehingga memiliki rasa kompetisi ekonomi dengan kelompok Kristen. Namun hal ini berbalik arah karena pada masa Orde Baru kelompok Islam memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok Kristen karena banyak pedagang Islam yang menjadi intelektual ekonomi sehingga ditempatkan pada posisi pemerintahan. Karena adanya kesenjangan antara kelompok Kristen dengan Islam maka timbullah konflik yang mengatas namakan agama sebagai penyebab konflik yang awalnya hanya pertikaian antara orang perorangan.
Konflik ini meluas karena adanya isu SARA yang disebarkan oleh orang-orang atau kelompok yang berkepentingan sehingga konflik ini menjadi berkepanjangan dan terjadi tidak hanya satu kali saja tetapi terjadi dalam empat babak. Secara garis besar konflik yang terjadi di Ambon ini terjadi karena latar belakang yang berbeda yaitu ada aspek sosial ekonomi, politik, dan agama. Sebenarnya pertikaian antara supir angkot dengan preman ini merupakan peristiwa yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang menyebabkan pertikaian antara kelompok agama yang terjadi di Ambon. Hal ini dipicu oleh adanya isu SARA tadi dan masyarakat Ambon ini seakan-akan diadu domba antar agama Islam dengan Kristen.
Sebenarnya antara masyarakat baik beragama Islam maupun Kristen yang ada di Ambon ini sebenarnya mempunyai tradisi Pela Gandong yang gunanya untuk mempersatukan masyarakat atas dasar perbedaan yang ada baik agama, suku, maupun tujuan yang berbeda. Selain itu juga sebagai media penyelesaian konflik apabila terjadi konflik antar masyarakatnya. Namun, Pela Gandong ini sudah luntur seiring dengan berkembangnya zaman dan semakin banyaknya pendatang yang datang maka menyebabkan tradisi ini hilang. Akibatnya Pela Gandong sudah tidak dapat menjadi lembaga mekanisme penyelesaian konflik lagi. Sementara pada saat ini Pela Gandong telah digantikan dengan pendekatan keamanan (ABRI) dimana jika terjadi konflik maka akan dikenakan sanksi berat.
Peristiwa kerusuhan Ambon adalah merupakan hasil proses akumulasi konflik antar kelompok yang pada mulanya bersifat lokal, namun dengan adanya keterlibatan peran-peran tertentu dari sejumlah provokator serta kurangnya perhatian dan penanganan aparat keamanan berubah menjadi kerusuhan dengan skala dan kerusakan yang luas dan fatal. Dari sudut tanggung jawab pengamanaan, dari adanya kerusuhan di Ambon terdpat kejanggalan dalam peran aparat keamanan dan militer. Hal ini terlihat bahwa disebagian wilayah ada anggota aparat keamanan membiarkan laju pergerakan kerusuhan terjadi sementara dilain tempat aparat keamanan justru menahan laju pergerakan kerusuhan yang terjadi.
Dilokasi tertentu ada fakta yang menunjukkan bahwa adanya semacam pengorganisasian yang cukup rapi dalam peristiwa tersebut, mulai dari penciptaan prakondisi, pemanfaatan potensi konflik lokal, terlihatnya para provokator dan penggerak masa yang dilengkapi dengan sarana komunikasi yang canggih dan senjata api, serta pembagian senjata tajam oleh anggota aparat keamanan kepada beberapa masa yang saling bertikai. Hal ini menimbulkan kecurigaan, yaitu kemungkinan sebagian anggota aparat keamanan dan militer telah memberikan kemudahan bagi terjadinya kerusuhan.
Jika dilihat dari penyebab sesungguhnya konflik Ambon ini karena adanya kesenjangan sosial dan ekonomi yang sebenarnya merupakan konstruksi pemerintah sebagai agen dalam mekonstruksi struktur ekonomi dalam masyarakat Ambon. Konflik yang terjadi ini memiliki pola hubungan yang horizontal dimana ada hubungan antara kelompok agama Kristen dengan agama Islam serta pendatang. Namun konflik yang terjadi juga merupakan hasil dimensi vertikal antara masyarakat dan pemerintahan, dimana sistem pemerintahan mengkonstruksi struktur yang ada dalam masyarakat di Ambon.
Dalam menyelesaikan konflik ini hendaknya dilakuakan secara transparan dengan mediasi wilayah dengan melibatkan seorang mediator yang netral serta tidak memihak satu sama lain dalam mengatasi masalah. Terutama masalah yang sangat prinsip yang terjadi di masyarakat yaitu isu SARA terutama tentang agama. Dimana dalam hal ini masyarakat dituntut dan menyalurkan ide-ide yang pemecahannya dianggap sesuai dengan karakter masyarakat dan diterima oleh kedua belah pihak yang bertikai sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Dalam hal ini masing-masing pihak yang bertikai harus menahan diri, kesdiaan memahami apa yang sudah terjadi, kesediaan untuk mau mengerti dan mau menghargai perbedaan yang ada sehingga menjadi proses perdamaian.

Kesimpulan
Konflik yang terjadi di Ambon pada dasarnya adalah konflik yang disebabkan karena adanya kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi pada jaman penjajahan yang kemudian dipicu dengan adanya pertikaian antara preman yang beragama Islam dengan supir angkot yang beragama Kristen. Dalam pertikaian disertai dengan isu-isu SARA yang dilakukan oleh orang-orang atau kelompok yang berkepentingan sehingga menimbulkan konflik ini semakin luas.
Tradisi Pela Gndong yang sebagai media persatuan masyarakat Ambon atas dasar perbedaan agama, ras, suku, dan adat ini sudah tidak dapat berfungsi lagi karena sudah luntur seiring dengan banyaknya pendatang yang datang ke Ambon. Selain itu dari pihak aparat keamanan juga tidak berfungsi dengan baik karena pada kenyataannya masih ditemukan adanya kerja sama antara pihak yang bertikai secara sepihak.

Saran
Dengan adanya kerusuhan ini seharusnya menjadi pelajaran bagi masyarakat Ambon. Seharusnya tradisi Pela Gandong tetap diadakan guna menyatukan masyarakat atas dasar perbedaan yang ada. Dan sesama masyarakat baik itu berbeda agama, suku, ras itu jangan ada prasangka buruk yang kemudian akan memicu terjadinya konflik. Setiap ada konflik harus diselesaikan sevara musyawarah dengan menghadirkan pihak-pihak yang berkonflik, pemuka agama, dan aparat keamanan sehingga tidak ada keputusan sepihak.

2 komentar: