Sabtu, 29 April 2017

Keberagaman Budaya Yang Memicu Konflik

Lima Konflik SARA paling mengerikan di Indonesia

  "Latar belakang agama yang berbeda rupanya masih  menjadi pemicu terbesar terjadinya kekerasan di Indonesia. Dari 2.398 kasus kekerasan pasca reformasi, 65 persen terjadi karena latar belakang agama, 20 persen kekerasan etnis, 15 persen kekerasan jender dan 5 persen kekerasan orientasi seksual."

 

Sebagai negara majemuk dengan beragam suku, ras, agama dan golongan, Indonesia menjadi negara paling rawan terhadap konflik SARA. Perbedaan pandangan antar kelompok masyarakat di suatu wilayah kerap menjadi pemicu pecahnya bentrok antar mereka.
Namun, di tengah konflik itu ada saja orang yang memanfaatkan situasi itu sehingga menjadi konflik berkepanjangan. Berikut konflik SARA paling mengerikan yang pernah terjadi di Indonesia.
Dari banyaknya kasus diskriminasi yang terjadi, setidaknya ada lima kasus diskriminasi terburuk pasca 19 tahun reformasi. Kelima kasus itu dinilai terburuk berdasarkan jumlah korban, lama konflik, luas konflik, kerugian materi, dan frekuensi berita. Setiap variabel diberikan nilai 1-5 kemudian dikalikan dengan bobot masing-masing variabel. Pembobotan skor 50 diberikan pada variabel jumlah korban, skor 40 untuk lamanya konflik, skor 30 untuk luas konflik, skor 20 untuk kerugian materi, dan skor 10 untuk frekuensi berita. Hasilnya, konflik Ambon berada di posisi teratas, yakni dengan nilai 750, kemudian diikuti konflik Sampit (520), kerusuhan Mei 1998 (490), pengungsian Ahmadiyah di Mataram (470), dan konflik Lampung Selatan (330).

1. Konflik Agama di Ambon
Konflik berbau agama paling tragis meletup pada tahun 1999 silam. Konflik dan pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak Januari 1999, telah berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan menghancurkan semua tatanan kehidupan bermasyarakat.
Konflik tersebut kemudian meluas dan menjadi kerusuhan hebat antara umat Islam dan Kristen yang berujung pada banyaknya orang meregang nyawa. Kedua kubu berbeda agama ini saling serang dan bakar membakar bangunan serta sarana ibadah.
Saat itu, ABRI dianggap gagal menangani konflik dan merebak isu bahwa situasi itu sengaja dibiarkan berlanjut untuk mengalihkan isu-isu besar lainnya. Kerusuhan yang merusak tatanan kerukunan antar umat beragama di Ambon itu berlangsung cukup lama sehingga menjadi isu sensitif hingga saat ini.
Konflik Maluku menjadi konflik kekerasan dengan latar agama yang telah menelan korban terbanyak, yakni 8.000-9.000 orang meninggal dunia, dan telah menyebabkan kerugian materi 29.000 rumah terbakar, 45 masjid, 47 gereja, 719 toko, 38 gedung pemerintahan, dan 4 bank hancur. Rentang konflik yang terjadi juga yang paling lama, yakni sampai 4 tahun.
2. Tragedi Sampit, Suku Dayak vs Madura
Tragedi Sampit adalah konflik berdarah antar suku yang paling membekas dan bikin geger bangsa Indonesia pada tahun 2001 silam. Konflik yang melibatkan suku Dayak dengan orang Madura ini dipicu banyak faktor, di antaranya kasus orang Dayak yang didiuga tewas dibunuh warga Madura hingga kasus pemerkosaan gadis Dayak.
Warga Madura sebagai pendatang di sana dianggap gagal beradaptasi dengan orang Dayak selaku tuan rumah. Akibat bentrok dua suku ini ratusan orang dikabarkan meninggal dunia. Bahkan banyak di antaranya mengalami pemenggalan kepala oleh suku Dayak yang kalap dengan ulah warga Madura saat itu. Pemenggalan kepala itu terpaksa dilakukan oleh suku Dayak demi memertahankan wilayah mereka yang waktu itu mulai dikuasai warga Madura. Konflik di sampit telah menyebabkan 469 orang meninggal dunia dan 108.000 orang mengungsi. Rentang konfliknya pun mencapai 10 hari.
3. Sentimen Etnis Berujung Penjarahan
Peristiwa penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 ternyata berbuntut panjang dan menyulut emosi warga. Akibatnya, keesokan harinya Jakarta menjadi lautan aksi massa yang terjadi di beberapa titik. Penjarahan dan pembakaran pun tak dapat dihindarkan.
Krisis moneter berkepanjangan di tahun 1998 berujung pada aksi kerusuhan hebat pada penghujung rezim Orde Baru pimpinan almarhum Soeharto. Saat itu, Indonesia dilanda krisisi ekonomi parah sehingga melumpuhkan seluruh persendian ekonomi dalam negeri.
Kerusuhan yang terjadi malah menular pada konflik antar etnis pribumi dan etnis Tionghoa. Saat itu, banyak aset milik etnis Tionghoa dijarah dan juga dibakar oleh massa yang kalap.
Massa pribumi juga melakukan tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap para wanita dari etnis Tionghoa kala itu. Konflik antar etnis itu menjadi catatan kelam di penghujung pemerintahan rezim Soeharto. Konflik ini menelan korban 1.217 orang meninggal dunia, 85 orang diperkosa, dan 70.000 pengungsi. Meski hanya berlangsung tiga hari, kerugian materi yang ditimbulkan mencapai sekitar Rp 2,5 triliun.


4. Konflik Ahmadiyah di Transito Mataram 
Konflik ini telah menyebabkan 9 orang meninggal dunia, 8 orang luka-luka, 9 orang gangguan jiwa, 379 terusir, 9 orang dipaksa cerai, 3 orang keguguran, 61 orang putus sekolah, 45 orang dipersulit KTP, dan 322 orang dipaksa keluar Ahmadiyah. Meski tidak menimbulkan korban jiwa yang besar, konflik ini mendapat sorotan media cukup kuat dan rentang peristiwa pascakonflik selama 8 tahun yang tak jelas bagi nasib para pengungsi.

5. Konflik kekerasan yang terjadi di Lampung Selatan
Konflik ini telah menimbulkan korban 14 orang meninggal dunia dan 1.700 pengungsi. Secara keseluruhan, negara terlihat mengabaikan konflik-konflik yang sudah terjadi pelanggaran HAM berat. Dalam beberapa kasus bahkan tidak ada pelaku atau otak pelaku kekerasan yang diusut.

2 komentar: