Minggu, 30 April 2017

Tragedi Berdarah Lampung Selatan, Pemerintah Dimana?

Tragedi Berdarah di Lampung Selatan

 

Dibeberapa Halaman media diberitakan tragedi berdarah di lampung selatan yang menewaskan 12 orang, seperti yang penulis mendapatkan informasi Pada hari Minggu tanggal 28 Oktober 2012 pukul 09.30 WIB di Desa Sidorejo, Kecamatan Sidomulyo, Kabupaten Lampung Selatan, telah terjadi bentrokan antara warga suku Lampung dan warga suku Bali.

Dalam peristiwa tersebut warga suku Bali memberikan pertolongan terhadap Nurdiana dan Eni, namun warga suku Lampung lainya memprovokasi bahwa suku Bali telah memegang dada Nurdiana dan Eni sehingga pada pukul 22.00 WIB warga suku Lampung berkumpul sebanyak +500 orang dipasar patok melakukan penyerangan ke pemukiman warga suku Bali di desa Bali Nuraga Kec. Way Pani. Akibat penyerangan tersebut 1 (satu) kios obat-obatan pertanian dan kelontongan terbakar milik Sdr. Made Sunarya, 40 tahun, swasta.


Terkait hal ini warga mengaku trayma dan tak tahu harus berbuat apa. Harta benda mereja musnah terbakar saat berntrokan terjadi. Padahal, sebagian besar dari 1.300 pengungsi ini tak tahu penyebab dari bentrokan lampung Selatan. Seperti diberitakan, bentrok susulan antar kedua kelompok warga di Lampung Selatan, kembali terjadi Senin kemarin sekitar pukul 14.00 WIB. Ribuan warga dari salah satu desa kembali menyerang kelompok warga lain hingga kembali memakan korman.


Pemicu Bentrokan

Apa pemicu bentrokan warga terjado? Menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Laampung Ajun Komisaris Besar Sulistyaningsih mengatakan dua kampung itu dihuni warga berbeda suku, Seorang gadis warga Agom dilecehkan oleh pemuda Desa Balinuraga pada Sabtu, 27 Oktober 2012, warga Agom malah diserang warga Balinuraga. Tiga orang tewas dalam kejadian itu. Tak terima dengan tewasnya tiga warga tadi, warga Agom menyerang balik. Suasana masih mencekam. Ratusan polisi dan TNI menjaga ketat kedua kampung. Wargapun berjaga-jaga dengan senjata api rakitan dan senjata tajam.


Menurut Gubernur Lampung Sjahroedin ZP, saat mengunjungi pengungsi program bentrokan di Sekolah Polisi Negara (SDN) Kemiling, Polda Lampung, Ia memiliki konflik yang terjadi kali ini disebabkan karena penanganan konflik sebelumnya tak diselesaikan secara tuntas. "Persoalan lama yang serupa pernah terjadi. Selama ini perdamaian terjadi hanya dijalangan atas dan tidak menyentuh hingga kalangan bawah." Dalam kunjungan itu, Sjahroedin berkeliling mengunjungu tiap aula di SPN Kemiling yang dijadikan tempat penampungan para pengungsi bentrokan. Menurut Bapak Gubernyr Lampung ini, kurangnya sosialisasi kesepakatan damai hingga ke tingkat bahwa menjadi pemicu kembali munculnya bentrok antar warga. Pdahal pecahnya bentrok hanya dipicu persoalan sepele. Yang terbaru persoalan dipicu kasus pelecehan seksual dua gadis kampung.

Beberapa peristiwa serupa juga pernah terjadi, hanya persoalan sepele. Salah satunya bentrok antarwarga di kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan, pada Januari 2012. Bentrok antarwarga yang berbeda suku ini hanya dipicu persoalan rebutan lahan parkir. Berdasarkan data yang dihimpun dari Kepolisian daerah Lampung.
Bentrokan ini harus dilakukan dengan tindakan cepat, tepat dan tegas dari pemerintah maupun aparat kepolisian, serta bila dipandang perlu dapat minta bantuan kepada aparat TNI serta dukungan dari pemerintah pusat di Jakarta. Pihak berwenang harus segera melakukan langkah penanganan konflik itu harus segera dilokalisir jangan sampai bentrokan itu merebut ke wilayah lain, pemerintah perlu bertindak cepat untuk mengajak seluruh tokoh agama dan tokoh masyarajat adat bisa segera duduk bersama mencari penyelesaianya, serta semua pihak agar dapat untuk bisa menahan diri, mengingat kalau sudah menjadi kasus SARA dampaknya sangat luas dan medalam, ditambah perlu adanya penyelesaian yang komprehensif dengan mengedepankan kearifan lokal, dan bila dipandang perlu maka relokasi bisa dipertimbangkan.

Dalam kajian Sosiologi, situasi massa yang tidak beraturan ini bisa dikategorikan sebagai penyimpangan kolektif(group deviation). Contoh konkretnya adalah kenakalan remaja, tawuran/perkelahian pelajar, tawuran antarwarga dan bahkan bisa berbentuk penyimpangan budaya.
Psikologi massa yang ingin main hakim sendiri, menjadi hal yang dominan dalam kasus Lampung Selatan. Memang munculnya psikologi massa untuk main hakim senditi bukan berdiri sendiri. Hal itu muncul dari rangkaian potret-potret perilaku sosial yang menyimpang. Dimulai dari potret pelecehan seksual, potret interaksi sosial yang lemah, potret terlambatnya aparat bertindak, sehingga akhirnya potret terakhir aksi anakitis. Pertanyaan mendasar dari berbagai kejadian itu adalah, dimana pranata sosial yang bisa berupa norma, adat istiadat dan juga aturan hukum legal formal berada.
Kenapa begitu mudah orang bertindak anarkis. Mereka dengan begitu gampangnya, dan bisa jadi tidak merasa bersalah menghabisi nyawa orang lain.


Dimana Pemerintah ??

Sementara itu, sejumlah pengungsi akibat bentrokan antarwaga di Desa Balinuraga, kecamatann Waypamko, Lampung Selatan mengalami trauma atas peristiwa tersebut. "Sebagian pengungsi mengalami trauma yang mendalam atas kejadian tersebut, sehingga perlu penanganan atau terapi mental bagi warga yang berada di pengungsian ini. Trauma ini bisa berkepanjangan apabila tidak segera ditangani, sehingga dapat mengakibatkan peristiwa lain yang diinginkan

Dalam penyampaian pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan semua pihak termasuk di Lampung. "Sejumlah aksi kekerasan horizontal yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, yang terakhir di Lampung.Saya menyerukan semua pihak harus ikut bertanggung jawab, peduli dan bekerja." kata Presiden Yudhoyono pada pers di Halim Perdanakusuma sebelu pesawat yang membawanya sbeserta rombongan lepas landas menuju London



Sedang ditempat terpisah Menurut Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sangat menyesalkan ketidakmampuan pemerintah, khususnya aparat keamanan dalam melindungi warga seperti dalam kasus di Lampung Selatan. Penyesalan semakin memuncak ketika Presiden SBY lebih memilih pergi ke Inggris daripada ke Lampung. Wakil Sekertaris Jenderal PDIP, Hasto Kristyanto, mengatakan seharusnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memantau situasi di Lampung.”Saat ada masalah dalam negeri, tapi dia (presiden) memilih kunjungan ke luar negeri. SBY Lebih baik memilih datang ke sana untuk menyelesaikan masalah.


Hasto Krisyanto mengatakan pemerintah telah gagal melindungi warga negaranya sendiri. “Dengan adanya korban meninggal dunia, membuktikan pemerintah gagal melindungi hak hidup warga negara Indonesia,”, seharusnya  aparat keamanan di pusat dan daerah untuk bertindak sungguh-sungguh dan mencegah sedini mungkin agar tidak ada lagi nyawa yang hilang sia-sia. Hasto mengatakan akibat kegagalan dan kelalaian pemerintah dalam melindungi segenap warga Indonesia agar diberikan santunan dan menyeru jangan sampai ada lagi satu jiwa pun rakyat yang meninggal sia-sia serta. Pemerintah wajib melindungi hak warga negara Republik Indonesia. Jika Kita amati peristiwa pertikaian antara warga di Lampung Selatan disebabkan aparat keamanan terutama kepolisian tidak maksimal menangkal secara dini potensi terjadinya konflik.(**)

Kerusuhan Mei 1998, Harga Yang Harus Dibayar Oleh Etnis Tionghoa

Tionghoa di Indonesia

Pada bulan Mei lalu adalah hari-hari bersejarah yang kelam bagi etnis TIONGHOA di Indonesia akibat kasus KERUSUHAN 13-15 Mei 1998 di Jakarta. Seperti yang kita ketahui bersama, etnis Tionghoa menjadi korban utama kekerasan yang terjadi pada peristiwa itu, dimana ketika rumah, toko, perusahaan dan aset milik kaum Tionghoa dibakar dan isinya dijarah; termasuk  pemerkosaan, penganiayaan dan pelecehan terhadap ratusan wanita etnis Tionghoa kala itu.
Seperti dikutip dari situs Wikipedia dan berbagai media blog/website referensi lain, disimpulkan bahwa Kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998 terjadi awalnya karena :

1. Penembakan terhadap para aktivis mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 yang mengakibatkan 4 mahasiswa tewas dan puluhan lainnya mengalami luka-luka akibat melakukan aksi demo Krisis Moneter di Indonesia.
2. Krisis Finansial Asia sehingga menimbulkan kritik kepada pemerintahan waktu itu (Orde Baru).
Namun ternyata yang paling dirugikan dari rentetan peristiwa ini sebenarnya adalah etnis Tionghoa yang sejatinya tidak tahu menahu, bahkan tidak mau ambil pusing soal aksi demo para mahasiswa ini (yang bermaksud untuk menggoyang pemerintahan pada waktu itu).
Etnis Tionghoa juga sebenarnya tidak mau pusing siapa yang mengkudeta siapa, atau siapa yang mengerahkan pasukan, dsb. Yang kita tahu kita hanya ingin hidup aman dan tentram di Negeri ini; tetapi faktanya justru kita yang “dikorbankan” sebagai tumbal reformasi?
Ibarat pribahasa “Gajah sama gajah berjuang, pelanduk mati di tengah-tengah”. Ya, etnis Tionghoa pada waktu itu benar-benar menjadi korban kerusuhan; dimana yang seharusnya “berperang” adalah rakyat sipil (diwakili mahasiswa, juga sebagian provokator*) dan negara (diwakili aparat keamanan), tapi akhirnya menjadi bias.
Jika ditarik lebih jauh lagi maka sedikit banyak akan menyinggung 2 tokoh elite politik yang saat ini masih aktif dalam dunia perpolitikan; dimana pada waktu itu masing-masing memegang posisi tertinggi dalam jajaran militer (memegang tongkat komando tentara).
Anehnya sebagai aparat keamanan (apalagi tentara yang harusnya lebih keras), mereka seperti terlihat melongo dan pasrah saja melihat rakyatnya di zolimi seperti itu, serta hanya sibuk mengawal gedung DPR/MPR. Sampai saat ini, beberapa pertanyaan seputar tragedi kerusuhan Mei 1998 masih menjadi misteri, diantaranya adalah :
1. Kemana aparat keamanan militer pada waktu kerusuhan itu (menurut sumber, kerusuhan yang terjadi selama 30 jam, polisi dan tentara sempat menghilang di sejumlah daerah) ?
2. Mengapa sampai terjadi pembiaran (penjarahan dan pembakaran rumah,toko dan perusahaan milik etnis Tionghoa, serta yang paling parah adalah pemerkosaan, penganiayaan dan pelecehan terhadap wanita etnis Tionghoa (disertai perusakan alat kelamin dan bagian tubuh lainnya, dimutilasi, bahkan dibakar hidup-hidup), yang mengakibatkan gangguan psikis (gangguan kejiwaan) yang sangat luar biasa bagi para korban hingga saat ini; bahkan banyak yang berujung pada aksi bunuh diri atas rasa keputus asaan?
3. Siapa yang menggerakkan massa (melakukan provokasi) yang menyebabkan kerusuhan SERENTAK di beberapa kota besar Indonesia (diantaranya Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dsb) ?


Akibat kasus ini, banyak Negara yang pada waktu itu ikut mengecam keras Pemerintahan Indonesia yang dianggap gagal dalam melindungi warga negaranya, diantaranya negara Singapura, Taiwan, Amerika Serikat, Malaysia dan Thailand. Berikut beberapa aksi simpatik Negara-Negara tersebut :
1. Pemerintah Singapura >> Menyatakan Bandara Internasional Changi terbuka 1×24 jam dan sewaktu-waktu siap menerima kedatangan korban kerusuhan.
2. Pemerintah Taiwan >> Menyampaikan protes keras kepada pemerintah Indonesia, bersamaan dengan itu mengirim pesawat penumpang untuk mengangkut para korban kerusuhan.
3. Pemerintah Amerika >> Mengizinkan “permohonan perlindungan” para korban keturunan Tionghoa, bersamaan itu mengirim kapal perangnya ke Indonesia untuk mengangkut sejumlah besar korban kerusuhan.
4. Pemerintah Malaysia >> Meminta Komite HAM PBB menyelidiki peristiwa pembunuhan dan pemerkosaan bergilir ditengah kerusuhan yang dialami oleh kaum perempuan keturunan Tionghoa di Indonesia, serta menyerahkan hasil penyelidikan kepada Pengadilan Kejahatan Internasional untuk diadili.

Tetapi sungguh ironis, Pemerintah komunis Republik Rakyat Tiongkok (China) malah mengambil sikap tidak melaporkan, tidak mengecam dan tidak mencampuri segala urusan dalam negeri Indonesia.
Menurut pemerintah China pada saat itu mengatakan, orang Tionghoa di Indonesia telah menjadi Warga Negara Indonesia, maka apa yang terjadi di Indonesia segalanya adalah urusan dalam negeri Indonesia. Padahal jika dilihat dari sisi keterikatan emosional dan kedekatan suku bangsa, Negara China lah yang seharusnya menjadi pembela nomor satu.
Sejumlah masyarakat etnis Tionghoa pada waktu itu berada dalam situasi keadaan yang genting dan mencekam dikabarkan pernah mencoba mengadu ke Kedubes China, yang atas dasar perikemanusiaan memohon bantuan. Namun ditolak mentah-mentah oleh kedubes China dengan alasan yang melapor bukan warga negaranya.
Sudah tentu kabar ini membuat Pemerintahan Orde Baru yang kala itu sangat ketakutan merasa telah memperoleh dukungan semangat yang kuat, termasuk para pelaku kerusuhan yang menganggap aksi mereka sebagai suatu pembenaran.
hal ini membuat Pemerintahan Soeharto kala itu yang sangat ketakutan merasa telah memperoleh dukungan semangat yang kuat. – See more at: http://newsupdate-portal.blogspot.com/2012/10/apa-yang-terjadi-pada-mei-1998-serta_8.html#sthash.xLrv2Dli.dpuf
hal ini membuat Pemerintahan Soeharto kala itu yang sangat ketakutan merasa telah memperoleh dukungan semangat yang kuat. – See more at: http://newsupdate-portal.blogspot.com/2012/10/apa-yang-terjadi-pada-mei-1998-serta_8.html#sthash.xLrv2Dli.dpuf
Atas terjadinya peristiwa tersebut, pemerintah Indonesia yang hanya atas desakan Negara-Negara sahabat akhirnya membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk sebagai tim penyelidik untuk mengusut kasus Kerusuhan Mei 1998. Meski begitu, mengenai kelanjutan dari kasus ini, seperti siapa oknum-oknum yang harus bertanggung jawab atas kerusuhan Mei 1998 ini masih belum diungkap.
Pemerintah selama belasan tahun ini tampaknya tidak pernah serius dalam menindaklanjuti dengan proses hukum soal laporan investigasi dari TPGF (menurut informasi kasus ini sudah sampai tingkat Kejaksaan Agung, tapi seperti dipeti es kan), dimana dalam laporannya, ternyata terdapat lebih dari 1800 orang tewas selama kekacauan selang tanggal 13-15 Mei 1998!
Hal ini jelas bisa memunculkan spekulasi publik bahwa ini adalah bentuk Operasi Militer terselubung pemerintah kala itu*. Maka itu pemerintah enggan untuk memperpanjang masalah ini.
Sebagai catatan, penulis tidak mencantumkan sumber-sumber informasi yang berasal dari blog/web pribadi karena isinya merupakan pandangan subjektif (masih menjadi asumsi) dengan berbagai latar kepentingan.
Tetapi pembaca dapat melakukan riset sendiri lewat Google dan berbagai mesin pencarian lain sebagai referensi/masukan tambahan, terutama dalam arsip foto-foto kekerasan pada etnis Tionghoa pada Mei 1998; dimana terdapat foto dan kesaksian mengenai bagaimana para pelaku kerusuhan menganiaya para korban wanita etnis Tionghoa dengan kejam.
Setelah 19 tahun berlalu, akhirnya Jakarta dipimpin oleh perwakilan etnis minoritas yang pada waktu itu “dizolimi” oleh etnis mayoritas pribumi, dijadikan tumbal politik demi reformasi, etnis Tionghoa! Mungkin ini adalah takdir? Tidak ada yang tahu. Semoga dengan ini bisa membuka langkah kedepannya bagi pihak pengusut (korban) untuk mencari keadilan di negeri ini.

Catatan : Kode bintang* adalah pandangan/asumsi penulis
Sumber foto : sesawi.net, sadarsejarah.wordpress.com

Tragedi Sampit, Suku Dayak vs Madura

Tragedi Kerusuhan Sampit (Suku Dayak vs Madura)

Kerusuhan Sampit dengan korban ratusan jiwa ternyata hanya bermula dari perkelahian siswa SMK di Baamang. Perkelahian itu melibatkan anak warga Dayak dan Madura.

Perkelahian siswa itulah, yang kemudian memicu konflik antarkeluarga, antaretnis, hingga pembantaian sampai pengusiran puluhan ribu warga Madura. Anak polah, bapa kepradah. Pepatah Jawa yang berarti anak berbuat, orang tua ikut terlibat ini terjadi atas diri keluarga Matayo. Warga asal Madura yang sudah lama tinggal di Baamang, Sampit, ini tak terima anaknya berkelahi dengan anak warga Dayak. Tapi, keterlibatan Matayo atas perkelahian anaknya ini malah memicu kegeraman warga dayak. Lalu, dibuatlah perhitungan.
Minggu dini hari sekitar pukul 03.00 (18 Februari) sekelompok pemuda Dayak menyerang dan membunuh Matayo. Tiga orang anggota keluarganya ikut tewas. Itu versi warga Madura. Versi warga Dayak agak berbeda lagi. Mereka bilang, eksekusi terhadap Matayo dan keluarganya terjadi karena yang bersangkutan sering melakukan tindak kriminal. Warga setempat pun jengkel karena sering dirugikan. Hanya empat jam, eksekusi Dayak terhadap Matayo ini menyebar.
Warga Madura tak bisa menerima. Sejumlah warga pendatang ini lantas menyatroni Ketua Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak, Seruyan Tengah, untuk membalas dendam. Lengkap dengan berbagai senjata, warga Madura ini minta Iniel menyerahkan pembunuh Matayo yang bersembunyi di rumahnya. Mereka mengancam akan membakar kalau pelaku tidak diserahkan. 
Tapi, 39 orang di dalam rumah Iniel tidak keluar. Warga Madura mulai tidak sabar. Mereka melemparkan apa saja ke pagar dan kaca rumah. Bahkan, ada yang berusaha membakar rumah. Mendengar ribut-ribut, polisi datang, lalu mengamankan 39 orang yang ada di rumah Iniel. Sebagian memang mengaku membunuh Matayo. Tapi, warga Madura tidak puas dan mengarahkan amarahnya ke warga Dayak yang lain. Beberapa rumah warga Dayak dibakar. Nasib tragis dialami Jihan atau Seyan, seorang purnawirawan TNI AD. Seyan beserta ketujuh anak dan cucunya yang kabarnya masih kerabat Iniel dibakar hidup-hidup dalam rumahnya. Sejak hari itu, warga Madura menguasai Sampit. Dengan mengacung-acungkan senjata, puluhan warga Madura pawai keliling kota. Mereka menggunakan berbagai kendaraan, mulai roda dua sampai roda empat. Mereka tak hanya berpawai. Setiap bertemu warga Dayak, mereka mengejar dan membunuhnya. Sedikitnya, sepuluh rumah dibakar.



Tujuh orang tewas saat warga Madura menguasai Sampit. Bahkan, seorang ibu muda hamil tujuh bulan ikut dibunuh dengan dirobek perutnya. "Itu fakta," kata Bambang Sakti, tokoh muda Dayak asal Sungai Samba. Situasi itu membuat Sampit Minggu malam mencekam. Listrik padam total. Pembakaran di perkampungan warga di Jalan Baamang berlangsung sporadis. Pengungsi mulai membanjiri gedung pertemuan di depan rumah jabatan bupati sampit. Tapi, kemudian dialihkan ke kantor bupati.
Yang mengungsi bukan hanya warga Madura. Juga Dayak dan Cina. Mereka berdesak-desakan mengungsi. Ini terjadi karena mereka belum tahu betul siapa yang menguasai jalanan di Sampit malam itu, Madura atau Dayak. Di pengungsian, Madura dan Dayak malah rukun.”Saya saat itu ikut mengungsi” ujar seorang wartawan lokal. Untuk menghadang orang Dayak keluar-masuk Sampit, warga Madura melakukan penjagaan di pertigaan Desa Bajarum yang mengarah kota Kecamatan Kota Besi.
Penjagaan juga terjadi di Perenggean, Kecamatan Kuala Kuayan, dan desa-desa pedalaman Hilir Mentayan. Selama berpawai itu, warga Madura terus berteriak-teriak mencari tokoh Dayak. "Mana Panglima Burung? Mana tokoh Dayak?" tantang mereka. Tak hanya itu, seorang tokoh Madura melakukan orasi lewat pengeras suara, "Sampit akan jadi Sampang kedua, Sampit jadi Sampang Kedua".
Mereka juga memasang spanduk: Selamat datang orang Dayak di kota Sampang, Serambi Mekkah. "Spanduk itu yang kami cari sekarang," kata Bambang Sakti. Bambang juga bilang telah menemukan sejumlah bom di rumah-rumah warga Madura. "Ini bukan isapan jempol," tuturnya. Sedikitnya, pasukan Dayak sudah menyerahkan 300 bom yang ditemukan di rumah warga Madura. Begitu juga beberapa pucuk pistol. "Tidak tahu bagaimana tindak lanjutnya," jelasnya. Kabarnya, bom-bom itu dirakit di Jawa, lalu dikirimkan ke Sampit. Tapi, sumber Jawa Pos menyebutkan, bom rakitan dibuat di Sampit. Lalu, didistribusikan ke berbagai warga Madura di kecamatan.
Mereka bilang bom itu untuk mempertahankan diri jika sewaktu-waktu diserang warga Dayak. Tapi, karena bom itu pula, 112 warga Madura di Kecamatan Perenggean dibantai di lapangan kecamatan. Ini setelah warga Dayak menemukan bom di rumah seorang warga Madura.
Melihat aksi penguasaan warga pendatang itu, warga Dayak tak tinggal diam. Mereka lantas membawa bala bantuan pasukan dari Dayak pedalaman. Warga Dayak yang tiba lebih dulu melakukan perlawanan sporadis. Selasa malam (20 Februari), peta kekuatan mulai berbalik.
Warga Dayak pedalaman dari berbagai lokasi daerah aliran sungai (DAS) Mentaya, seperti Seruyan, Ratua Pulut, Perenggean, Katingan Hilir, bahkan Barito berdatangan ke kota Sampit melalui hilir Sungai Mentaya dekat pelabuhan. Pasukan Dayak pedalaman yang rata-rata berusia muda tak lebih 25 tahun membekali diri dengan berbagai ilmu kebal. Jumlahnya sekitar sekitar 320 orang.

Pasukan itu lalu menyusup ke daerah Baamang dan sekitarnya, pusat permukiman warga Madura. Meski dalam jumlah kecil, kemampuan bertempur pasukan khusus Dayak sangat teruji. Buktinya, mereka mampu memukul balik warga Madura yang terkosentrasi di berbagai sudut jalan Sampit. Dengan ilmu kebal, mereka melawan ribuan warga Madura. Bahkan, mereka sanggup menghadapi bom yang banyak digunakan warga Madura. Dalam bentrok terbuka, seorang warga Madura melemparkan bom ke arah pasukan Dayak. Tapi, bom dapat ditangkap dan dilemparkan kembali ke arah kerumunan Madura. Meledak. Puluhan warga Madura tewas seketika. Selain kebal senjata, pasukan Dayak pedalaman tidak mempan ditembak. Mereka justru memunguti peluru untuk dikantongi. Karena itu, polisi juga keder.
Sejak itu, mental Madura pun langsung down. Strategi yang diterapkan warga Dayak dalam serangan balik cukup jitu. Selain masuk lewat Baamang, sekitar empat perahu penuh pasukan dayak tidak langsung merapat ke bibir sungai.
Mereka berhenti di seberang sungai Mentaya. Baru berenang menuju kota pinggir sungai di tepian kota Sampit. Strategi ini untuk menghindari pengawasan orang Madura. Lantas, secara tiba-tiba, mereka muncul dan menyerang permukiman Madura. Madura pun dibuat kocar-kacir. Pasukan Dayak pedalaman terus bergerak ke kantong-kantong tokoh Madura. Seperti, Jalan Baamang III, Simpong atau dikenal Jalan Gatot Subroto, dan S. Parman. Rumah tokoh Ikatan Keluarga Madura (Ikama) Haji Marlinggi yang cukup megah di Jalan DI Panjaitan tak luput dari sasaran. Banyak pengawal penguasa Pelabuhan Sampit itu yang terbunuh. Sebagian lari. Sejumlah becak bekas dibakar berserakan di halaman rumah yang hancur.
Rumah tokoh Madura lain seperti Haji Satiman dan Haji Ismail juga dihancurkan. Tidak terkecuali rumah Mat Nabi yang dikenal sebagai jagonya Sampit. Padahal, rumah tokoh-tokoh Madura yang berada di Sampit, Samuda, maupun Palangkaraya tergolong cukup mewah. Serangan pasukan inti Dayak kemudian diikuti warga Dayak lain. Mereka mencari rumah dan warga di sepanjang kota Sampit. Ratusan warga Madura dibunuh secara mengenaskan, lalu dipenggal kepalanya.

Hari-hari berikutnya gelombang serangan suku Dayak terus berdatangan. Bahkan, sebelum menyerang, seorang tokoh atau panglima Dayak lebih dulu membekali ilmu kebal kepada pasukannya. Karena itu, saat melakukan serangan, biasanya mereka berada dalam alam bawah sadar.
Uniknya, mereka juga dibekali indera penciuman tajam untuk membedakan orang Madura dan non-Madura. "Dari jarak sekitar 200 meter, baunya sudah tercium," ujar. Itu tak berlebihan. Saat ada evakuasi, di tengah jalan seorang warga Madura disusupkan. Dia dikelilingi warga non-Madura. Sebelum masuk ke lokasi penampungan, mereka kena sweeping Dayak. Meski orang itu ada di tengah pengungsi, masih juga tercium dan disuruh turun. Tanpa ampun, laki-laki tadi dibantai.
Agar serangan ke perkampungan Madura terkendali, para komando warga Dayak menggunakan Hotel Rama sebagai pusat komando penyerangan. Bahkan, di hotel itulah pasukan diberi ramuan ilmu kekebalan oleh para panglima. Saat digerebek, aparat menemukan beberapa kepala manusia. Tapi, para tokohnya sempat meloloskan diri. Kini, di depan hotel bertingkat dua itu dibentangkan police line.
Berada di atas angin, pasukan Dayak lalu melebarkan serangan ke berbagai kota Kecamatan Kotawaringin Timur. Sasaran pertama, Samuda, ibu kota Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, dan Parebok yang banyak dihuni warga Madura. Samuda dan Parebok jadi sasaran setelah Sampit karena banyak tokoh Madura tinggal di daerah itu. Di Parebok juga ada Ponpes Libasu Taqwa.
Ponpes yang diasuh Haji Mat Lurah ini juga dijadikan tempat berlindung banyak warga Madura. Warga Madura di kecamatan lain pun tidak lepas dari buruan. Misalnya, Kuala Kuayan. Ratusan korban jatuh dengan kepala terpenggal. Kini, warga Dayak praktis menguasai hampir seluruh wilayah Kalimantan Tengah. Kecuali Pangkalan Bun. Kota ini aman karena hampir tak ada warga Madura yang tinggal di semua kota kecamatan. Penghuninya, saat itu, banyak yang lari menyelamatkan diri ke hutan, baik Palangkaraya, Sampit, maupun Samuda.

Bohong, kalau Gubernur Kalteng Asnawi Agani mengatakan orang Madura yang tewas 200 orang, meskipun itu informasi yang datang dari Posko Sampit. Hal ini dikatakan sejumlah orang Madura yang ikut naik KRI Teluk Ende 517. Dalam pelayaran menyusuri Sungai Mentaya (70 km), ABK dan pengungsi bisa melihat puluhan mayat yang mengapung di sepanjang sungai, dan sejumlah bangunan rumah warga Madura dan Pasar Sampit/Pasar Ganal yang tinggal temboknya yang hangus.
Dikatakan seorang pengungsi yang bekerja di penggergajian kayu, PT Sempagan Raya Sampit, Abdul Sari (30), bahwa yang tampak di sungai saja ada puluhan yang mengapung dan tersangkut di pinggir. Sementara yang hanyut dan tenggelam lebih dari 200 warga etnis Madura. "Ini baru yang di sungai, belum yang terserak di pinggir sepanjang Jl. Masjid Nur Agung saja tidak kurang dari 200 mayat," katanya.


Sementara di Jl. Sampit Pangkalan Bun, saat ini masih banyak mayat yang bergelimpangan di tepi jalan. Mayat-mayat itu hanya ditutupi dengan batu koral yang dibungkus karung sak. Tidak ada yang menolong untuk dimakamkan, kami tidak mungkin untuk melakukan itu. Sedang untuk bisa lolos dari kejaran dan tebasan mandau Dayak saja sudah bersyukur.
Abdul Sari juga mengatakan, sekarang pasukan Dayak tidak lagi membedakan siapa yang akan dibunuh. Awalnya yang diserang hanya etnis Madura, tapi kini semua pendatang, termasuk orang Jawa, dan Cina. Mereka bukan hanya ditebas lehernya saja, tapi juga dipenggal jadi beberapa potong.
Di mata etnis Madura, polisi setempat sudah kehilangan kepercayaannya lagi. Mereka (warga etnis Madura) mengaku, siangnya di sweeping dan senjatanya disita petugas, dan mereka (petugas) mengatakan, semua sudah aman dan tidak ada apa-apa lagi. Maka warga etnis Madura di Jl. Sampit Pangkalan Bun tenang-tenang saja dan percaya pada petugas. Ternyata malamnya diawali dengan suara kuluk,... kuluk,... kuluk,... sebentar kemudian pasukan Dayak muncul dan membunuhi warga Madura. Tidak ada yang tersisa, mereka yang menyerah maupun yang lari dibunuh. Umumnya mereka diserang pada malam hari, ratusan Dayak dengan suara kuluk..., kuluk..., sambug-menyambung muncul dari segala penjuru.


Esoknya warga etnis Madura mati mengenaskan dengan badan tanpa kepala lagi. Parebuk Menurut warga etnis Madura yang ikut KRI Teluk Ende, Sopian (56), warga yang banyak mati dari daerah Parebuk, Semuda. Karena warga Madura yang ada di sini tidak menghindar tapi melakukan perlawanan sengit. "Saat ini di sana yang tersisa tinggal wanita dan anak-anak," kata Sopian.
Sopian yang datang ke pengungsian dengan jalan menyusuri sungai mengatakan, dia berjalan sambil sembunyi-sembunyi di antara pohon hutan yang cukup lebat. Ternyata setelah 7 hari di pengungsian ia hanya melihat beberapa warga Madura dari Semuda. Berarti ada sedikitnya 500 orang Madura yang tewas melawan Dayak di Semuda. "Kalau masih hidup seharusnya perjalanan mereka tidak lebih dari satu atau dua hari saja," kata Sopian.
Sopian bersama pengungsi lain yang ada di pengungsian pun mengaku masih dibayang-bayangi pasukan suku Dayak. Bahkan ada isu bahwa kamp pengungsian di halaman Pemda Sampit akan diserbu oleh Dayak. Hal ini membuat warga Madura yang ada di pengungsian menjadi resah, di samping mereka sudah ketakutan, juga mereka sudah tidak memiliki senjata lagi.
Menurut Kilan, sejumlah orang Dayak membawa mayat orang Madura dengan geledekan keliling kota. Tidak sampai di situ, geledekan yang berisi orang Madura ditinggal begitu saja di depan Polres Sampit, Jl. Sudirman. Kekesalan warga Madura terhadap oknum polisi di Polsek Jl. Ba Amang Tengah semakin menjadi, seperti yang diungkapkan oleh Somad yang mendatangi kantor Polsek. Ia minta perlindungan setelah dikejar-kejar oleh sekitar 50 Dayak, Somad minta diantar ke tempat pengungsian. Kapolsek bukannya menolong tapi justru memanggil Dayak yang ada di sekitar situ. Somad mengaku lari ke belakang, dengan melompat lewat pintu belakang Polsek ia akhirnya lolos lari ke semak-semak. Ia sempat merangkak sejauh 300m sebelum lepas dari kejaran Dayak dan lari ke hutan. Dari hutan ini ia menyusuri tepian hutan dan akhirnya sampai ke tempat pengungsian. Ia pun bersyukur karena bisa ketemu dengan anak istrinya.


Seorang pengungsi, Choiri (40), dari Pasuruan mengatakan, ada peristiwa yang sangat mengenaskan dari daerah Belanti Tanjung Katung, Sampit. Sebanyak 4 truk pengungsi Parengkuan yang dibawa oleh orang yang mengaku petugas dengan mengatakan akan dibawa ke tempat penampungan pengungsi di SMP 2, akhirnya dibantai habis. Ternyata mereka yang mengaku petugas adalah pasukan Dayak, orang Madura disuruh turun dan dibantai. "Jika tiap truk berisi 50 pengungsi berarti ada 200 pengungsi yang tewas dibantai," kata Choiri.
Choiri mengatakan, yang dibantai itu semuanya wanita dan anak-anak. Begitu jemputan yang kedua tiba, yang diangkut adalah orang laki-laki dewasa, justru mereka selamat tidak di tempat pengungsian karena dikawal oleh Brimob dari Jakarta.
Liar Pengakuan seorang pengungsi, Titin (19), asli Lumajang, yang tinggal di Jl. Pinang 20 Sampit mengatakan, suaminya yang asli Dayak Kapuas yang kini ikut pasukan Dayak. Ia menceritakan, suaminya pernah bercerita padanya, mengapa orang Dayak menjadi pandai berkelahi dan larinya cepat bagai kijang. Awalnya suaminya enggan menjadi pasukan Dayak untuk membunuhi orang Madura. Tapi karena dihadapkan pada satu di antara dua pilihan, jadi pasukan atau mati, terpaksa suaminya memilih jadi pasukan Dayak. Saat itu ia disuruh minum cairan yang membuatnya ia menjadi berani, kemudian alisnya diolesi dengan minyak yang membuat ia melihat bahwa orang Madura itu berwujud anjing dan akhirnya harus diburu dan dibunuh. Makanya orang Dayak tidak punya takut, tidak punya rasa kasihan, ini menurut Titin karena sudah diberi minuman dan olesan minyak tertentu. Sehingga mereka mirip dengan jaran kepang yang sedang kesurupan, mungkin mereka kerasukan roh nenek moyangnya dan membunuh sesuai dengan perintah panglima perang suku Dayak.

Analisa

Prof H.K.M.A Usop, mantan Rektor Universitas Palangkaraya yang kini sebagai Ketua Presedium Lembaga Musyawarah Dayak Daerah Kalimantan Tengah (KPLMDDKT), mengakui kalau banyak pelanggaran, tindakan kriminal yang merugikan harta dan nyawa orang Dayak. Sebetulnya, setiap kali terjadi bentrok selalu diakhiri perdamaian. Tapi, setiap kali pula warga Madura melanggarnya. Begitu seterusnya. "Paling tidak sudah ada 15 kali perdamaian. Tapi, hasilnya sama selalu dilanggar warga Madura," kata Usop saat pertemuan tokoh masyarakat Dayak dengan DPRD Kalteng. Bahkan, saat pembuatan jalan Palangkaraya-Kasongan terjadi bentrok Dayak-Madura, tepatnya di Bukit Batu tahun 1983. Setelah bentrokan reda, dibuatlah perdamaian antara tokoh Dayak dengan tokoh Madura. Ada satu poin penting dalam perjanjian itu. Yakni, Warga Madura dengan sukarela akan meninggalkan Kalimantan Tengah jika melakukan pertumpahan darah terhadap warga dayak. Tapi, berkali-kali ada pertumpahan darah warga Madura jangankan pergi tapi makin banyak berdatangan ke Kalimantan. "Dokumen itu yang kini sedang kami cari," tambha Usop.

Menurut Dr Thamrin Amal Tomagola, sosiolog dari Universitas Indonesia, ada empat faktor utama akar konflik di Kalimantan, yaitu;

1. Terjadinya proses marginalisasi suku Dayak. Pendidikan yang minim dan sedikitnya warga Dayak yang bisa menikmati pendidikan mengakibatkan sedikitnya warga Dayak yang duduk di pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah lebih banyak di pegang oleh warga pendatang.

2. Penempatan transmigran di pedalaman Kalimantan yang mengakibatkan singgungan hutan. Hutan bagi masyarakat Dayak adalah tempat tinggal dan hidup mereka. Ketika transmigran ditempatkan di pedalaman Kalimantan, dan mereka melakukan penebangan hutan, kehidupan masyarakat Dayak terganggu. Sejak tahun 1995 para transmigran di tempatkan di pedalaman Kalimantan, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu menempatkan transmigran di pesisir. Para pendatang baru inilah, yang dikenal keras dan pembuat masalah, tidak seperti pendatang-pendatang sebelumnya. Selain soal transmigrasi, pemerintah juga telah memberikan keleluasaan bagi para pengusaha untuk membuka hutan melalui HPH.

3. Masyarakat Dayak kehilangan pijakan, terganggunya harmoni kehidupan masyarakat Dayak mengakibatkan masyarakat Dayak kehilangan pijakan. Kekuatan adat menjadi berkurang. Kebijakan-kebijakan pemerintah telang menghilangkan/mengurangi identitas mereka sebagai masyarakat adat.

4. Hukum yang tidak dijalankan dengan baik mengakibatkan banyaknya terjadi tindak kekerasan dan kriminal yang dibiarkan. Proses pembiaran ini berakibat pada lemahnya hukum dimata masyarakat, sehingga masyarakat menggunakan caranya sendiri untuk menyelesaikan berbagai persoalan, diantaranya dengan menggunakan kekerasan.  
sumber dari : http://archive.kaskus.co.id/thread/2208967/0/kerusuhan-kerusuhan-sipil-di-indonesia

Konflik Agama di Ambon Tahun 1999

Konflik Agama di Ambon Tahun 1999

Konflik antara Agama Islam dan Kristen di Ambon Maluku (1999)

Abstrak

Pada bulan tahun 1999 sampai dengan tahun 2000, Ambon (Maluku) terlibat dalam konflik yang berdasarkan atas identitas agama yaitu Islam dengan Kristen. Bukan hanya sebagai konflik antar agama yang menimbulkan konflik ini tetapi ada faktor lain yaitu adanya kesenjangan ekonomi dan sosial yang menjadi penyebab konflik. Konflik yang terjadi antara warga Muslim baik pribumi maupun pendatang, yang perekonomiannya dianggap relatif baik karena pekerjaannya sebagai pedagang dan lebih banyak berperan dalam pemerintahan menyebabkan kelompok Kristen merasa termarjinalisasi oleh keadaan tersebut. Konflik ini terbagi menjadi empat babak yang latar belakangnya berbeda. Dijelaskan bahwa isu SARA yang dilakukan oleh orang-orang yang berkepentingan merupakan ikut menjadi pemicu terjadinya konflik agama tersebut.
Kata Kunci: Konflik antar agama, kesenjangan ekonomi dan sosial, termarjinalisasi, konflik horizontal, dominasi kelas.

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki masyarakat yang majemuk yang terdapat beragam suku, etnik, adat, ras, agama dan bahasa yang berbeda-beda. Di Indonesia terdapat 300 lebih suku bangsa dan memiliki lebih dari 200 bahasa khas yang membedakan suku bangsa yang satu dengan yang lainnya. Di Indonesia juga terdapat beragam agama yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan lain-lain. Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh sekitar 85,2 % penduduk Indonesia, agama Protestan 8,9%, Katholik 3%, Hindu 1,8%, Budha 0,8%, dan lain-lain 0,3%.
Oleh karena itu masyarakat Indonesia disebut sebagain masyarakat yang majemuk. Tetapi dalam menjaga persatuan dan kesatuan, Indonesia memiliki semboyan yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Kondisi yang majemuk dengan beragamnya suku bangsa, etnik, adat, ras, agama, dan bahasa dapat menjadikan masyarakat Indonesia rentan akan terjadinya konflik.
Rentannya konflik merupakan sebab dari pertentangan kebudayaan antar masyarakat yang berbeda. Karena setiap etnik atau agama memiliki kebudayaan masing-masing yaitu cara pandang, tujuan, prinsip, dan kepercayaan yang berbeda. Konflik dapat terjadi pada antar kelompok yang berbeda maupun antar individu yang saling berinteraksi, dari adanya interaksi tersebut maka akan menimbulkan persepsi terhadap kelompok-kelompok tertentu yang terkadang positif dan kadang negatif.
Apabila dalam interaksi tersebut terdapat kesamaan tujuan, maka terjadilah kerjasama, dan apabila salah satu individu atau kelompok ingin melebihi individu atau kelompok yang lainnya maka terjadilah persaingan atau kompetisi. Dan apabila dua individu atau dua kelompok mempunyai kepentingan yang berbeda atau bertentangan satu dengan yang lain, maka dapat memicu terjadinya konflik. Oleh karenanya sulit bagi masyarakat Indonesia untuk menghindari konflik antar etnik, agama, suku, atau adat. Namun dalam kenyataannya, dalam catatan sejarah kemanusiaan khususnya yang berkaitan dengan hubungan antar umat beragama, kita menemukan banyak fakta yang memilukan tentang konflik dan pembantaian karena faktor etnik dan agama.
Salah satu konflik yang terjadi di Indonesia adalah konflik Ambon (Maluku) pada September 1999 yang merenggut hampir 5.000 nyawa melayang dan menyebabkan penderitaan berupa kemiskinan, menghancurkan sistem sosial pada masyarakat yaitu konflik yang terjadi karena berdasarkan atas identitas agama yaitu agama Islam dengan agama Kristen. Konflik Ambon 1999 ini adalah merupakan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah hubungan antar umat beragama di Indonesia. Dimana sebenarnya konflik tersebut berawal dari individu dengan individu bukan antar kelompok, yang kemudian meluas hingga menjadi konflik antar kelompok.
Semula konflik ini dipahami oleh kalangan masyarakat sebagai sebuah tragedi kemanusiaan yang disebabkan oleh suatu tindak atau peristiwa kriminal biasa. Pada kenyataannya konflik yang terjadi ini adalah sebuah rekayasa yang dirancang oleh orang atau kelompok tertentu demi kepentingannya dengan menggunakan isu SARA dan beberapa faktor lain seperti kesenjangan ekonomi, dan diskriminasi pemerintahan dan lain-lain.
Sebenarnya antara masyarakat baik beragama Islam maupun Kristen yang ada di Ambon ini sebenarnya mempunyai tradisi Pela Gandong yang gunanya untuk mempersatukan masyarakat atas dasar perbedaan yang ada baik agama, suku, maupun tujuan yang berbeda. Selain itu juga sebagai media penyelesaian konflik apabila terjadi konflik antar masyarakatnya. Namun, Pela Gandong ini sudah luntur seiring dengan berkembangnya zaman dan semakin banyaknya pendatang yang datang maka menyebabkan tradisi ini hilang. Akibatnya Pela Gandong sudah tidak dapat menjadi lembaga mekanisme penyelesaian konflik lagi. Sementara pada saat ini Pela Gandong telah digantikan dengan pendekatan keamanan (ABRI) dimana jika terjadi konflik maka akan dikenakan sanksi berat.

Latar Belakang Terjadinya Konflik

Konflik horizontal antar umat beragama Islam dengan umat beragama Kristen diawali dengan adanya kerusuhan pada tanggal 19 Januari 1999 bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Yang diawali dengan perkelahian pemuda keturunan Bugis yang beragama Islam dengan pemuda asal Mardika beragama Kristen. Pemuda asal Mardika yang bekerja sebagai supir angkot ini dimintai uang oleh pemuda keturunan Bugis tadi yang dikenal sebagai preman, kejadian ini terjadi di terminal Batu Merah. Karena pemuda asal Mardika tersebut tidak dapat memenuhi keinginan pemuda keturunan Bugis tadi. Kejadian ini terjadi berulang sampai tiga kali dan tetap pemuda asal Mardika ini tidak dapat memenuhi keinginan pemuda keturunan Bugis sehingga menimbulkan amarah dan perkelahian diantara mereka. Mereka adu pukul dan ingin membunuh satu sama lain.
Pemuda asal Mardika ini merasa terancam dan dia pulang kerumah mengambil parang dan kembali lagi ke terminal Batu Merah untuk menemui preman tersebut. Kemudian terjadilah aksi kejar-kejaran dimana preman tersebut berlari masuk ke kompleks pasar Desa Batu Merah. Kemudian preman tersebut ditahan oleh warga Batu Merah dan ia ditanyai tentang permasalahan yang terjadi, maka preman tersebut menjawab dengan jawaban bahwa “ia akan dibunuh oleh orang Kristen”. Jawabannya ini kemudian memicu terjadinya kerusuhan yang terjadi di Ambon yang dimana antara warga Muslim dengan warga Kristen saling menyerang. Warga Muslim menyerang warga Kristen dan sebaliknya warga Kristen yang muncul untuk mempertahankan diri.
Awalnya masa Muslim muncul dari Desa Batu Merah bangkit menyerang warga Kristen di kawasan Mardika yang merupakan tetangga Desa Batu Merah dengan menggunakan berbagai alat tajam seperti parang, tombak, panah dan lain-lain dengan menggunakan ikat kepala warna putih yang seragam. Mereka sempat melukai dan membakar rumah-rumah warga Kristen. Demikian pula pada saat yang bersamaan beberapa lokasi pemukiman Kristen seperti Galunggung, Tanah Rata, Kampung Ohiu, Silale, dan Waihaong serta mendengar bahwa gereja Silale telah dibakar maka bangkitlah amarahnya dan kemudian melalukan penyerangan balik ikut diserang oleh kelompok Muslim yang menyebabkan beberapa warga Kristen terbunuh, ratusan rumah dibakar dan sebuah gereja di kawasan Silale dirusak dan kemudian ikut dibakar.
Warga Kristen yang mendiami Batu Gantung, Kudamati dan sebagainya setelah mendengar penyerangan warga Muslim terhadap warga Kristen di Mardika, Galunggung, Tanah Rata, Kampung Ohiu, kawasan Silale, dan Waihaong Konflik berkembang dengan sangat pesat dengan sebab-sebab yang tidak sepenuhnya dimengerti oleh masyarakat setempat. Konflik tersebut meluas dan disertai dengan aksi-aksi pembakaran rumah-rumah warga dan tempat ibadah, pembunuhan serta penghancuran fasilitas-fasilitas umum. Konflik ini menjadi semakin meluas dan banyak terjadi kerusuhan dimana-mana hal ini disebabkan karena adanya isu SARA yang disebarkan oleh orang-orang yang berkepentingan.

Konflik ini terjadi dengan latar belakang yang berbeda yang mana terjadi dalam empat babak yaitu:
1. Januari-Maret 1999
Peristiwa sepele, dan dianggap biasa oleh masyarakat, yaitu konflik antara preman Batu Merah yang beragama Muslim dengan supir angkot yang beragama Kristen. Yang kemudian menyebabkan pertikaian antar kelompok agama dan suku bangsa yang kemudian meledak menjadi kerusuhan yang besar di Ambon. Akhirnya kerusuhanpun meluas keseluruh pulau Ambon tanpa dapat terkendali. Kota dan desa-desa di Ambon dibakar dan diratakan dengan tanah. Kerusuhan yang berlarut-larut itu memakan banyak korban jiwa.
Kota Ambon dan sebagian desa-desa sekitarnya tersegregasi ketat dan terbagi menjadi dua wilayah yaitu wilayah Islam dan Kristen. Masyarakat dan wilayah Kristen disebut dengan merah, dan yang Muslim disebut dengan putih. Pemerintah daerah, aparat keamanan, pemuka-pemuka agama dan adat kemudian sibuk melakukan rekonsiliasi dengan berbagai gebrakan. Upacara Panas Pela dilakukan disana-sini, sehingga pada akhir Maret sampai dengan pertengahan Juli 1999, Ambon mulai reda dari kerusuhan besar.

2. Juli-November 1999
Suasana Ambon dalam keadaan tenang-tenang tegang bersamaan dengan adanya kampanye menjelang pemilu. Setelah pemilu ketegangan pun meningkat dan pecah didaerah Poka dan kemudian meluas di bagian lain di ambon. Segregasi semakin ketat. Di Ambon hanya tersisa satu desa yang masyarakatnya masih tetap berbaur yaitu Wayame. Masyarakat semakin mempersenjatai diri dengan berbagai bentuk senjata, mulai dari parang.

3. Akhir Desember 1999-Pertengahan Januari 2000
Pada saat itu konflik mereda namun kesiap siagaan masih tinggi. Hal ini terjadi di Pulau Seram dan Pulau Buru. Tanda-tanda akan meledaknya kerusuhan menguat setelah adanya kunjungan dari presiden dan wakil presiden konflik kembali memanas dan terjadi lagi kerusuhan diberbagai wilayah. Akibatnya banyak korban jiwa yang berjatuhan.

4. April-Agustus 2000
Situasi di Ambon sudah kembali tenang sedangkan upaya rekonsiliasi dilakukan di berbagai tempat. Tapi gerakan Jihad yang berpusat di Yogyakarta, Jakarta, Bogor mulai meresahkan masyarakat Ambon. Isu-isu tentang ancaman Jihad mulai muncul dan pernolakan kedatangan Jihad muncul juga dari masyarakat Muslim, apalagi Kristen. Setelah wakil presiden berkunjung di Ambon dalam acara SBJ, yang juga dihadiri oleh kelompok Milisia Batumerah yang beragama muslim dengan Kudamati yang beragama kristen, meyebabkan kerusuhan mulai merebak dan menjadi berkepanjangan.
Ketidak mampuan pemerintah untuk menangani konflik menyebabkan kebangkitan Front Kebangkitan Maluku (FKM) pada 2000 yang merupakan sebuah gerakan yang mengangkat warisan Republik Rakyat Maluku (RMS). RMS kemudian dianggap sebagai gerakan Kristen yang memperburuk dinamika konflik antar Agama.

Analisis
Dalam analisis ini akan akan dibahas awal mula atau sumber terjadinya konflik antara warga yang beragama Islam dengan warga yang beragama Kristen. Dilihat secara mendalam sebenarnya konflik yang terjadi di Ambon bukanlah murni konflik yang disebabkan karena atas dasar agama, tetapi faktor ekonomi, sosial, dan politk juga menjadi penyebab konflik ini. Jika dilihat melalui sejarah dalam kehidupan di Ambon, yang dimana wilayah Ambon ini terbagi menjadi dua komunitas agama yaitu Islam dengan Kristen. Dimana kelompok identitas Kristen pada awalnya memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok identitas agama Islam karena segregasi yang diberikan oleh Belanda pada jaman penjajahan. Pemerintahan Belanda pada masa kolonial menganggap Kristen lebih unggul dibandingkan dengan Islam.
Konflik antara agama Islam dengan Kristen yang terjadi merupakan hasil pandangan setiap kelompok dalam kehidupannya bersama. Adanaya perbedaan yang ditunjukkan dengan kesenjanagan ekonomi membentuk interpretasi setiap kelompok dalam memberikan pandanagan nilai terhadap kelompok lain. Hal itu yang menimbulkan adanya prasangka negatif kelompok Kristen terhadap kelompok Islam dinAmbon pada jaman Orde Baru. Posisi kelompok islam lebih tinggi dengan kondisi ekonomi yang lebih baik karena berprofesi sebagai pedagang dan juga mendapatkan posisi pada pemerintahan yang menjadikan mereka melakukan dominasi terhadap kelompok agama Kristen.
Melalui interaksi yang terjadi kelompok Islam merasa termarjinal dalam struktur masyarakat Ambon sehingga memiliki rasa kompetisi ekonomi dengan kelompok Kristen. Namun hal ini berbalik arah karena pada masa Orde Baru kelompok Islam memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok Kristen karena banyak pedagang Islam yang menjadi intelektual ekonomi sehingga ditempatkan pada posisi pemerintahan. Karena adanya kesenjangan antara kelompok Kristen dengan Islam maka timbullah konflik yang mengatas namakan agama sebagai penyebab konflik yang awalnya hanya pertikaian antara orang perorangan.
Konflik ini meluas karena adanya isu SARA yang disebarkan oleh orang-orang atau kelompok yang berkepentingan sehingga konflik ini menjadi berkepanjangan dan terjadi tidak hanya satu kali saja tetapi terjadi dalam empat babak. Secara garis besar konflik yang terjadi di Ambon ini terjadi karena latar belakang yang berbeda yaitu ada aspek sosial ekonomi, politik, dan agama. Sebenarnya pertikaian antara supir angkot dengan preman ini merupakan peristiwa yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang menyebabkan pertikaian antara kelompok agama yang terjadi di Ambon. Hal ini dipicu oleh adanya isu SARA tadi dan masyarakat Ambon ini seakan-akan diadu domba antar agama Islam dengan Kristen.
Sebenarnya antara masyarakat baik beragama Islam maupun Kristen yang ada di Ambon ini sebenarnya mempunyai tradisi Pela Gandong yang gunanya untuk mempersatukan masyarakat atas dasar perbedaan yang ada baik agama, suku, maupun tujuan yang berbeda. Selain itu juga sebagai media penyelesaian konflik apabila terjadi konflik antar masyarakatnya. Namun, Pela Gandong ini sudah luntur seiring dengan berkembangnya zaman dan semakin banyaknya pendatang yang datang maka menyebabkan tradisi ini hilang. Akibatnya Pela Gandong sudah tidak dapat menjadi lembaga mekanisme penyelesaian konflik lagi. Sementara pada saat ini Pela Gandong telah digantikan dengan pendekatan keamanan (ABRI) dimana jika terjadi konflik maka akan dikenakan sanksi berat.
Peristiwa kerusuhan Ambon adalah merupakan hasil proses akumulasi konflik antar kelompok yang pada mulanya bersifat lokal, namun dengan adanya keterlibatan peran-peran tertentu dari sejumlah provokator serta kurangnya perhatian dan penanganan aparat keamanan berubah menjadi kerusuhan dengan skala dan kerusakan yang luas dan fatal. Dari sudut tanggung jawab pengamanaan, dari adanya kerusuhan di Ambon terdpat kejanggalan dalam peran aparat keamanan dan militer. Hal ini terlihat bahwa disebagian wilayah ada anggota aparat keamanan membiarkan laju pergerakan kerusuhan terjadi sementara dilain tempat aparat keamanan justru menahan laju pergerakan kerusuhan yang terjadi.
Dilokasi tertentu ada fakta yang menunjukkan bahwa adanya semacam pengorganisasian yang cukup rapi dalam peristiwa tersebut, mulai dari penciptaan prakondisi, pemanfaatan potensi konflik lokal, terlihatnya para provokator dan penggerak masa yang dilengkapi dengan sarana komunikasi yang canggih dan senjata api, serta pembagian senjata tajam oleh anggota aparat keamanan kepada beberapa masa yang saling bertikai. Hal ini menimbulkan kecurigaan, yaitu kemungkinan sebagian anggota aparat keamanan dan militer telah memberikan kemudahan bagi terjadinya kerusuhan.
Jika dilihat dari penyebab sesungguhnya konflik Ambon ini karena adanya kesenjangan sosial dan ekonomi yang sebenarnya merupakan konstruksi pemerintah sebagai agen dalam mekonstruksi struktur ekonomi dalam masyarakat Ambon. Konflik yang terjadi ini memiliki pola hubungan yang horizontal dimana ada hubungan antara kelompok agama Kristen dengan agama Islam serta pendatang. Namun konflik yang terjadi juga merupakan hasil dimensi vertikal antara masyarakat dan pemerintahan, dimana sistem pemerintahan mengkonstruksi struktur yang ada dalam masyarakat di Ambon.
Dalam menyelesaikan konflik ini hendaknya dilakuakan secara transparan dengan mediasi wilayah dengan melibatkan seorang mediator yang netral serta tidak memihak satu sama lain dalam mengatasi masalah. Terutama masalah yang sangat prinsip yang terjadi di masyarakat yaitu isu SARA terutama tentang agama. Dimana dalam hal ini masyarakat dituntut dan menyalurkan ide-ide yang pemecahannya dianggap sesuai dengan karakter masyarakat dan diterima oleh kedua belah pihak yang bertikai sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Dalam hal ini masing-masing pihak yang bertikai harus menahan diri, kesdiaan memahami apa yang sudah terjadi, kesediaan untuk mau mengerti dan mau menghargai perbedaan yang ada sehingga menjadi proses perdamaian.

Kesimpulan
Konflik yang terjadi di Ambon pada dasarnya adalah konflik yang disebabkan karena adanya kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi pada jaman penjajahan yang kemudian dipicu dengan adanya pertikaian antara preman yang beragama Islam dengan supir angkot yang beragama Kristen. Dalam pertikaian disertai dengan isu-isu SARA yang dilakukan oleh orang-orang atau kelompok yang berkepentingan sehingga menimbulkan konflik ini semakin luas.
Tradisi Pela Gndong yang sebagai media persatuan masyarakat Ambon atas dasar perbedaan agama, ras, suku, dan adat ini sudah tidak dapat berfungsi lagi karena sudah luntur seiring dengan banyaknya pendatang yang datang ke Ambon. Selain itu dari pihak aparat keamanan juga tidak berfungsi dengan baik karena pada kenyataannya masih ditemukan adanya kerja sama antara pihak yang bertikai secara sepihak.

Saran
Dengan adanya kerusuhan ini seharusnya menjadi pelajaran bagi masyarakat Ambon. Seharusnya tradisi Pela Gandong tetap diadakan guna menyatukan masyarakat atas dasar perbedaan yang ada. Dan sesama masyarakat baik itu berbeda agama, suku, ras itu jangan ada prasangka buruk yang kemudian akan memicu terjadinya konflik. Setiap ada konflik harus diselesaikan sevara musyawarah dengan menghadirkan pihak-pihak yang berkonflik, pemuka agama, dan aparat keamanan sehingga tidak ada keputusan sepihak.