Minggu, 30 April 2017

Kerusuhan Mei 1998, Harga Yang Harus Dibayar Oleh Etnis Tionghoa

Tionghoa di Indonesia

Pada bulan Mei lalu adalah hari-hari bersejarah yang kelam bagi etnis TIONGHOA di Indonesia akibat kasus KERUSUHAN 13-15 Mei 1998 di Jakarta. Seperti yang kita ketahui bersama, etnis Tionghoa menjadi korban utama kekerasan yang terjadi pada peristiwa itu, dimana ketika rumah, toko, perusahaan dan aset milik kaum Tionghoa dibakar dan isinya dijarah; termasuk  pemerkosaan, penganiayaan dan pelecehan terhadap ratusan wanita etnis Tionghoa kala itu.
Seperti dikutip dari situs Wikipedia dan berbagai media blog/website referensi lain, disimpulkan bahwa Kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998 terjadi awalnya karena :

1. Penembakan terhadap para aktivis mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 yang mengakibatkan 4 mahasiswa tewas dan puluhan lainnya mengalami luka-luka akibat melakukan aksi demo Krisis Moneter di Indonesia.
2. Krisis Finansial Asia sehingga menimbulkan kritik kepada pemerintahan waktu itu (Orde Baru).
Namun ternyata yang paling dirugikan dari rentetan peristiwa ini sebenarnya adalah etnis Tionghoa yang sejatinya tidak tahu menahu, bahkan tidak mau ambil pusing soal aksi demo para mahasiswa ini (yang bermaksud untuk menggoyang pemerintahan pada waktu itu).
Etnis Tionghoa juga sebenarnya tidak mau pusing siapa yang mengkudeta siapa, atau siapa yang mengerahkan pasukan, dsb. Yang kita tahu kita hanya ingin hidup aman dan tentram di Negeri ini; tetapi faktanya justru kita yang “dikorbankan” sebagai tumbal reformasi?
Ibarat pribahasa “Gajah sama gajah berjuang, pelanduk mati di tengah-tengah”. Ya, etnis Tionghoa pada waktu itu benar-benar menjadi korban kerusuhan; dimana yang seharusnya “berperang” adalah rakyat sipil (diwakili mahasiswa, juga sebagian provokator*) dan negara (diwakili aparat keamanan), tapi akhirnya menjadi bias.
Jika ditarik lebih jauh lagi maka sedikit banyak akan menyinggung 2 tokoh elite politik yang saat ini masih aktif dalam dunia perpolitikan; dimana pada waktu itu masing-masing memegang posisi tertinggi dalam jajaran militer (memegang tongkat komando tentara).
Anehnya sebagai aparat keamanan (apalagi tentara yang harusnya lebih keras), mereka seperti terlihat melongo dan pasrah saja melihat rakyatnya di zolimi seperti itu, serta hanya sibuk mengawal gedung DPR/MPR. Sampai saat ini, beberapa pertanyaan seputar tragedi kerusuhan Mei 1998 masih menjadi misteri, diantaranya adalah :
1. Kemana aparat keamanan militer pada waktu kerusuhan itu (menurut sumber, kerusuhan yang terjadi selama 30 jam, polisi dan tentara sempat menghilang di sejumlah daerah) ?
2. Mengapa sampai terjadi pembiaran (penjarahan dan pembakaran rumah,toko dan perusahaan milik etnis Tionghoa, serta yang paling parah adalah pemerkosaan, penganiayaan dan pelecehan terhadap wanita etnis Tionghoa (disertai perusakan alat kelamin dan bagian tubuh lainnya, dimutilasi, bahkan dibakar hidup-hidup), yang mengakibatkan gangguan psikis (gangguan kejiwaan) yang sangat luar biasa bagi para korban hingga saat ini; bahkan banyak yang berujung pada aksi bunuh diri atas rasa keputus asaan?
3. Siapa yang menggerakkan massa (melakukan provokasi) yang menyebabkan kerusuhan SERENTAK di beberapa kota besar Indonesia (diantaranya Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dsb) ?


Akibat kasus ini, banyak Negara yang pada waktu itu ikut mengecam keras Pemerintahan Indonesia yang dianggap gagal dalam melindungi warga negaranya, diantaranya negara Singapura, Taiwan, Amerika Serikat, Malaysia dan Thailand. Berikut beberapa aksi simpatik Negara-Negara tersebut :
1. Pemerintah Singapura >> Menyatakan Bandara Internasional Changi terbuka 1×24 jam dan sewaktu-waktu siap menerima kedatangan korban kerusuhan.
2. Pemerintah Taiwan >> Menyampaikan protes keras kepada pemerintah Indonesia, bersamaan dengan itu mengirim pesawat penumpang untuk mengangkut para korban kerusuhan.
3. Pemerintah Amerika >> Mengizinkan “permohonan perlindungan” para korban keturunan Tionghoa, bersamaan itu mengirim kapal perangnya ke Indonesia untuk mengangkut sejumlah besar korban kerusuhan.
4. Pemerintah Malaysia >> Meminta Komite HAM PBB menyelidiki peristiwa pembunuhan dan pemerkosaan bergilir ditengah kerusuhan yang dialami oleh kaum perempuan keturunan Tionghoa di Indonesia, serta menyerahkan hasil penyelidikan kepada Pengadilan Kejahatan Internasional untuk diadili.

Tetapi sungguh ironis, Pemerintah komunis Republik Rakyat Tiongkok (China) malah mengambil sikap tidak melaporkan, tidak mengecam dan tidak mencampuri segala urusan dalam negeri Indonesia.
Menurut pemerintah China pada saat itu mengatakan, orang Tionghoa di Indonesia telah menjadi Warga Negara Indonesia, maka apa yang terjadi di Indonesia segalanya adalah urusan dalam negeri Indonesia. Padahal jika dilihat dari sisi keterikatan emosional dan kedekatan suku bangsa, Negara China lah yang seharusnya menjadi pembela nomor satu.
Sejumlah masyarakat etnis Tionghoa pada waktu itu berada dalam situasi keadaan yang genting dan mencekam dikabarkan pernah mencoba mengadu ke Kedubes China, yang atas dasar perikemanusiaan memohon bantuan. Namun ditolak mentah-mentah oleh kedubes China dengan alasan yang melapor bukan warga negaranya.
Sudah tentu kabar ini membuat Pemerintahan Orde Baru yang kala itu sangat ketakutan merasa telah memperoleh dukungan semangat yang kuat, termasuk para pelaku kerusuhan yang menganggap aksi mereka sebagai suatu pembenaran.
hal ini membuat Pemerintahan Soeharto kala itu yang sangat ketakutan merasa telah memperoleh dukungan semangat yang kuat. – See more at: http://newsupdate-portal.blogspot.com/2012/10/apa-yang-terjadi-pada-mei-1998-serta_8.html#sthash.xLrv2Dli.dpuf
hal ini membuat Pemerintahan Soeharto kala itu yang sangat ketakutan merasa telah memperoleh dukungan semangat yang kuat. – See more at: http://newsupdate-portal.blogspot.com/2012/10/apa-yang-terjadi-pada-mei-1998-serta_8.html#sthash.xLrv2Dli.dpuf
Atas terjadinya peristiwa tersebut, pemerintah Indonesia yang hanya atas desakan Negara-Negara sahabat akhirnya membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk sebagai tim penyelidik untuk mengusut kasus Kerusuhan Mei 1998. Meski begitu, mengenai kelanjutan dari kasus ini, seperti siapa oknum-oknum yang harus bertanggung jawab atas kerusuhan Mei 1998 ini masih belum diungkap.
Pemerintah selama belasan tahun ini tampaknya tidak pernah serius dalam menindaklanjuti dengan proses hukum soal laporan investigasi dari TPGF (menurut informasi kasus ini sudah sampai tingkat Kejaksaan Agung, tapi seperti dipeti es kan), dimana dalam laporannya, ternyata terdapat lebih dari 1800 orang tewas selama kekacauan selang tanggal 13-15 Mei 1998!
Hal ini jelas bisa memunculkan spekulasi publik bahwa ini adalah bentuk Operasi Militer terselubung pemerintah kala itu*. Maka itu pemerintah enggan untuk memperpanjang masalah ini.
Sebagai catatan, penulis tidak mencantumkan sumber-sumber informasi yang berasal dari blog/web pribadi karena isinya merupakan pandangan subjektif (masih menjadi asumsi) dengan berbagai latar kepentingan.
Tetapi pembaca dapat melakukan riset sendiri lewat Google dan berbagai mesin pencarian lain sebagai referensi/masukan tambahan, terutama dalam arsip foto-foto kekerasan pada etnis Tionghoa pada Mei 1998; dimana terdapat foto dan kesaksian mengenai bagaimana para pelaku kerusuhan menganiaya para korban wanita etnis Tionghoa dengan kejam.
Setelah 19 tahun berlalu, akhirnya Jakarta dipimpin oleh perwakilan etnis minoritas yang pada waktu itu “dizolimi” oleh etnis mayoritas pribumi, dijadikan tumbal politik demi reformasi, etnis Tionghoa! Mungkin ini adalah takdir? Tidak ada yang tahu. Semoga dengan ini bisa membuka langkah kedepannya bagi pihak pengusut (korban) untuk mencari keadilan di negeri ini.

Catatan : Kode bintang* adalah pandangan/asumsi penulis
Sumber foto : sesawi.net, sadarsejarah.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar